“Dik, kalo udah besar kamu pingin jadi apa?”. Coba anda tanyakan pertanyaan itu ke anak TK, SD. Anda bisa prediksi jawabannya berkisar antara : polisi, dokter, pilot, power ranger, batman. Kalau anda tanyakan pertanyaan yang sama ke siswa SMP dan SMA jawabannya akan terdengar lebih bervariatif lagi : insinyur,guru, ilmuwan, presiden, pemain bola, pengusaha. Memiliki cita-cita adalah hal yang sangat baik.Banyak orang punya cita-cita semenjak kecil. Namun tidak sedikit yang mengubah cita-citanya ketika beranjak dewasa. Berbagai pengetahuan baru dan pengalaman yang terus kita dapatkan menjadi faktor penentu pemilihan cita-cita. Pengetahuan tentang apa yang terjadi di dunia dan informasi tentang karir/keprofesian menjadi hal yang sangat penting.
Kadang pendidikan yang ada justru melenakan kita untuk bermimpi. Pelajaran yang kita dapatkan semenjak TK, SD, SMP, SMA atau mungkin perguruan tinggi lebih banyak mengasah sisi kognitif. Kegiatan ekstrakuliler mengasah softskill. Intelegent, softskill merupakan tools yang dimiliki manusia yang dapat diberdayakan untuk meraih tujuan. Pengembangan tools tanpa bermimpi akan membuat manusia seperti robot. Siswa SD tentulah ingin masuk ke SMP paling favorit, siswa SMP ingin masuk ke SMA paling favorit, siswa SMA ingin masuk perguruan tinggi terbaik. Setelah lulus perguruan tinggi lantas ingin mendapatkan gaji tertinggi. Jalur yang sudah pasti tersedia kadang membuat kita “malas” bermimpi, malah membentuk materalisme.
Pengetahuan kita terhadap dunia dan keprofesian dapat menentukan mimpi yang kita perjuangkan. Tidak ada cita-cita yang salah asal halal, namun yang tidak baik adalah mengikuti arus tanpa punya pendirian terhadap pilihan yang diambil. Kurangnya pengetahuan akan keprofesian telah menimbulkan fenomena tersendiri di dunia pendidikan. Contoh indikasinya : Paradigma bahwa kelas IPA di SMA lebih baik daripada kelas IPS, SMA lebih baik daripada SMK, pemilihan program studi di perguruan tinggi hanya berdasarkan passing grade. Kalau anda tanyakan kepada siswa SMA tentang jurusan yang ada di universitas palingan yang diketahui hanya jurusan yang populer saja seperti elektro, sipil, informatika, mesin, akuntansi, kedokteran, arsitektur, farmasi, dsb. Mungkin terdengar kurang familiar ditelinga siswa ketika mendengar jurusan material, metalurgi, kelautan, meteorologi, geologi, planologi, geodesi dsb. Kalaupun ada yang tahu terhadap jurusan tersebut, biasanya diketahui dari teman atau sanak saudara yang menempuh studi diprogram tersebut.
Menurut saya alangkah baiknya pengetahuan tentang keprofesian sudah ditanamkan semenjak dini misalnya semenjak SD atau SMP. Metode yang ditempuh bisa dengan menghadirkan bintang tamu dengan keprofesian yang berbeda tiap minggunya, film, dsb (tentunya penyampaian disesuaikan dengan umur objek). Semakin dini cita-cita ditanamkan, maka sang anak akan semakin bertanggung jawab menjalani pilihan dan studinya. Misalnya ketika sudah terpatri ingin menjadi dokter maka si anak akan menentukan langkah yang akan diambil : masuk jurusan IPA di SMA, ambil jurusan kedokteran. Ataukah yang memilih ingin menjadi atlet bisa lebih fokus dipendidikan olahraga sejak dini selain disekolah. Hal-hal tersebut dapat menimimalisir ketidaksesuaian minat siswa terhadap jalan yang ditempuh : memilih program studi hanya berdasar grade, ikut2an dsb.
Pengetahuan umum dan keprofesian sangatlah penting untuk disampaikan pula di jenjang universitas. Bagi mahasiswa engineering misalnya mengenai perkembangan teknologi yang terkait di dunia maupun di Indonesia, perkembangan industri, regulasi dsb. Pengembangan hardskill dan softskill saja tanpa pengetahuan umum tersebut dapat menyebabkan fenomena “bingung” pada wisudawan baru. Pada akhirnya nilai besaran gaji menjadi penentu utama faktor penentuan.
Memang menentukan mimpi tidaklah mudah, banyak faktor eksternal pula yang membatasi seperti ekonomi, dsb. Namun alangkah memang lebih baiknya Pengetahuan umum, keprofesian maupun inspirasi-inspirasi dapat ditanamkan semenjak dini. Misalnya seperti film Sang Pemimpi. Ikal dan Arai bercita-cita mengelilingi dunia dan tentunya dimulai dari Paris. Mereka membuat perencanaan untuk ke Paris maka dibutuhkan beasiswa dan kesempatan beasiswa banyak terdapat di Ibukota. Sementara untuk kuliah di Ibukota, dibutuhkan nilai dan ranking yang baik. Oleh karena itu mereka giat belajar. Setiap langkah yang mereka lalui seperti mengerjakan PR, ujian, merupakan batu lompatan untuk menuju Paris.
Tetapi saya sendiri juga setuju dengan statement “let it flows”. God works in mysterios ways. Ketika berada dipersimpangan dan jalan terasa buntu, coba nikmatilah setiap pilihan yang diambil dengan mengikuti kata hati dan passion. Kadang setiap pilihan yang kita ambil dapat diibaratkan seperti menggoreskan sebuah titik di kehidupan. Tidak ada yang tahu bagaimana titik tersebut akan terhubung dikemudian hari.