Faktor Penghambat Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia

Bumi merupakan tempat tinggal makhluk hidup dengan segala keseimbangan yang ada didalamnya.  Kerusakan lingkungan hidup dapat berakibat fatal bagi kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu sumberdaya alam dan lingkungan hidup pun harus dilindungi. Namun sayangnya kejahatan terhadap lingkungan hidup di Indonesia masih kerap terjadi. Hukum terkait Lingkungan Hidup menjadi instrumen yang penting dalam usaha menyelamatkan lingkungan hidup. Berikut ini merupakan Faktor Penghambat Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia.

 

1. Kurangnya Sosialiasi Kepada Masyarakat Terkait Hukum Lingkungan

Jelas, penegakan hukum lingkungan ini pun jauh lebih rumit dari pada delik lain, karena seperti telah dikemukakan sebelumnya hukum lingkungan menempati titik silang berbagai pendapat hukum klasik. Proses penegakan hukum administratif akan lain dari pada proses penegakan hukum perdata maupuan hukum pidana.
Menurut Hamzah (2005:51) pada umumnya masalah dimulai pada satu titik, yaitu terjadinya pelanggaran hukum lingkungan. Dari titik perangkat ini dapat dimulai dari orang pribadi anggota masyarakat, korban penegak hukum yang mengetahui langsung terjadinya pelanggaran tanpa adanya laporan atau pengaduan. Tujuan tempat pelapor kepada Bapedal LSM atau organisasi lingkungan hidup jika ingin memilih jalan perdata terutama tuntutan perbuatan melanggar hukum dapat melakukan gugatan sendiri kepada hakim perdata atas nama masyarakat (algemen belang, maatschappelijk belang). Jika mereka kurang mampu memikul biaya perkara, berdasarkan Pasal 25 Keppres Nomor 55 tahun 1991, dapat meneruskan kepada jaksa yang akan menggugat perdata atas nama kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Di kejaksaan terdapat bidang khusus untuk ini, yaitu Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Hamzah, 2005:51).
Disamping itu, jika anggota masyarakat, korban, LSM, organisasi lingkungan hidup, bahkan siapa saja dapat membuat laporan pidana kepada polisi. Siapa pun juga mengetahui terjadinya kejahatan wajib melapor kepada penyidik. Dari kepolisian dapat diminta petunjuk jaksa secara teknis yuridis. Jalur ini jelas hukum pidana. Akan tetapi, jaksa masih dapat menyelesaikan berdasarkan azas oportunitas, baik dengan syarat maupun tanpa syarat. Jika semua jalur akan ditempuh berhubung pelanggaran telah demikian serius dan menyinggung semua dimensi, misalnya melanggar syarat-syarat suatu izin menimbulkan kerugian finansial kepada orang atau masyarakat, lagi pula ia seorang residiv bahkan telah menimbulkan korban luka atau mati, penegak hukum dan yang berkepentingan melakukan tugasnya. Agar sanksi yang dijatuhkan tidak tumpang tindih misalnya denda (berdasarkan sanksi administratif dan pidana) maka penegak hukum perlu bermusyawarah sehingga tindakan yang dilakukan masing-masing terkoordinasi dengan baik.

2. Kendala Dalam Pembuktian

Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif (misalnya terjadinya pencemaran). Produsen tidak memasukkan eksternalitas sebagai unsur biaya dalam kegiatannya, sehingga pihak lain yang dirugikan. Hal ini akan merupakan kendala pada era tinggal landas, karena kondisi ini berkaitan dengan perlindungan terhadap hak untuk menikmati lingkungan yang baik dan sehat. Masalah pencemaran ini jika tidak ditanggulangi akan mengancam kelestarian fungsi lingkungan hidup. Di sepanjang Kali Surabaya terdapat sekitar 70 industri yang punya andil membuang limbah ke badan sungai tersebut. Permasalahan ini menjadi semakin mendapat perhatian dengan dibangunnya instalasi Pengelolaan Air Minum (PAM) di wilayah Karang Pilang yang merupakan proyek peningkatan kapasitas pengelolaan air minum untuk mencukupi kebutuhan air minum di Surabaya atas bantuan Bank Dunia. Pada tahun1988, dua diantara 70 perusahan/industri yang diduga memberikan kontribusi pencemaran terhadap Kali Surabaya diajukan ke pengadilan. Kedua perusahaan ini adalah PT Sidomakmur yang memproduksi Tahu dan PT Sidomulyo sebagai perusahaan peternakan babi. Limbah dari kedua perusahaan ini dialirkan ke kali Surabaya, dan diperkirakan telah menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Untuk dapat membuktikan bahwa suatu perbuatan telah menimbulkan pencemaran perlu penyidikan, penyidikan ini dilakukan oleh aparat POLRI. Untuk itu di samping diperlukan kemampuan dan keuletan setiap petugas, juga diperlukan suatu model yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu perbuatan telah memenuhi unsur pasal (Pasal 22 UU No. 4 Tahun 1982), seperti halnya dengan kasus Kali Surabaya. Polisi (penyidik) dalam penyidikan berkesimpulan bahwa telah terjadi pencemaran karena kesengajaan, sehingga perkara ini diajukan ke Pengadilan Negeri Sidoardjo, tetapi hakim memutuskan bahwa tidak terjadi pencemaran. Sedangkan pada tingkat Mahkamah Agung menilai bahwa Hakim Pengadilan Negeri Sidoardjo salah menerapkan hukum, selanjutnya MA memutuskan bahwa perbuatan tersebut terbukti secara sah dan menyakinkan mencemari lingkungan hidup karena kelalaian. Perbedaan ini menunjukkan bahwa permasalahan lingkungan hidup merupakan permasalahan kompleks, rumit dalam segi pembuktian dan penerapan pasal, serta subyektifitas pengambil keputusan cukup tinggi, sehingga perlu suatu media untuk menyederhanakan, memudahkan dan meminimisasi unsur subyektifitas.

3. Infrastruktur Penegakan Hukum

Kesulitan utama yang kerap dinyatakan oleh pemerintah atau aparat penegak hukum dalam mengatasi pembakaran hutan adalah minimnya aparat pemantau, atau minimnya alat bukti. Dalam hal tertangkap tangan maka yang dijerat adalah para operator yang notabene adalah pekerja harian. Perusahaan selalu dapat lepas dari jeratan hukum. Kompleksitas masalah pembakaran hutan bukan tanpa jalan keluar. Negara harusnya memiliki power untuk mencabut izin operasi atau konsesi atas perusahaan yang di kawasannya terdapat titik api. Hanya ada dua kemungkinan jika terjadi kebakaran di dalam satu konsesi kehutnan atau perkebunan, yaitu mereka sengaja membakar atau mereka tidak serius menjaga kawsannya agar bebas dari kebakaran. Jika ada kekuasaan pemerintah seperti itu, maka dapat dipastikan angka pembakaran hutan akan turus secara drastis. Untuk itu diperlukan suatu aturan hukum berupa Peraturan Pemerintah atau Perpu, karena aturan hukum yang ada saat ini belumlah memadai.

4. Budaya Hukum yang Masih Buruk

Pada beberapa kasus, kejahatan lingkungan terjadi karena masih kentalnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme antara perusahaan-perusahaan, pemerintah maupun DPR. Lobi-lobi illegal masih sering terjadi. Misalnya proyek pengadaan barang dan jasa di Lingkungan Bandan Lingkungan Hidup (BLH) Sidoarjo tahun anggaran 2008 lalu terdakwa bersekongkol dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Hasan Basri (Didakwa dengan kasus yang sama) memperkaya diri sendiri sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 193 juta lebih. Kasus lainnya adalah dugaan korupsi penanaman pohon senilai Rp473,9 juta yang menggunakan dana APBD 2006, ke Pengadilan Negeri (PN) Depok. Kasus tersebut melibatkan Asep Suganda, yang saat ini menjabat sebagai Kabid Tata Bangunan, Dinas Tata Kota dan Bangunan (Distakotbang). Dikatakannya, tersangka Asep diduga menyelewengkan dana untuk penanaman 5.000 batang pohon di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung senilai Rp223,9 juta, serta Rp250 juta untuk penanaman 1.250 pohon di Taman Hutan Rakyat (Tahura). Memang bukanlah pekerjaan yang mudah untuk memberantas praktek KKN yang kerapkali terjadi, namun bukanlah tidak mungkin.

referensi :

Artikel  dari Ageng, Ivan Valentina berjudul : Pengalaman Advokasi Kejahatan Korporasi
di Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya alam

http://sastrakelabu.wordpress.com/2009/12/14/proses-penegakan-hukum-lingkungan-berdasarkan-uu-nomor-23-tahun-1997-tentang-pengelolaan-lingkungan-hidup/

http://id.shvoong.com/law-and-politics/enviromental-law/2114594-proses-penegakan-hukum-lingkungan/#ixzz1MaAM1G00

Ronald H. Chilcote, Teori Perbandingan Politik: Penelusuran Paradigma, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003. dan lain2

2 thoughts on “Faktor Penghambat Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia

Leave a comment